Negara
Indonesia dibentuk bukan berdasarkan atas kesamaan suku adat, seperti halnya Negara
Eropa kebanyakan. Bukan juga berdasar atas kesamaan agama mayoritas, seperti
halnya Negara Timur Tengah dan India. Negara Indonesia justru lahir untuk mengakomodir
beragam perbedaan, bukan berdasar atas kesamaan. Perbedaan-perbedaan tersebut
terlihat pada keberagaman suku adat, perbedaan agama, bahkan perbedaan konsepsi
awal bentuk falsafah dasar dan ideologi negara yang akan dibentuk.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 ditandai
dengan proklamasi kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta sebagai perwakilan rakyat Indonesia. Dalam pembentukan sebuah Negara,
aspek pemenuhan legitimasinya terdiri atas dua aspek yakni de facto dan de
jure. De facto kemerdekaan bangsa Indonesia ditandai dengan adanya wilayah,
penduduk, serta pemerintah yang berdaulat. Kemudian maksud dari de jure ialah
pengakuan dari Negara lain.
Syarat
pembentukan Negara tersebut belum dipenuhi bangsa Indonesia pada tanggal 17
Agustus, pemerintahan belum terbentuk serta konstitusi belum disepakati.
Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 baru ditetapkan pemenuhan syarat
tersebut. Presiden dan wakil presiden ditunjuk secara aklamasi masing-masing
presiden yakni Ir. Soekarno dan wakil presiden yakni Drs. Moh. Hatta.
Perlu
diingat kembali bahwa untuk dasar Negara, telah dipersiapkan sebelumnya oleh
BPUPKI. Namun masih terdapat problematika di dalamnya, masalah tersebut yakni
adanya redaksi yang menuai konflik diantara beberapa pihak. Kalimat tersebut
yakni pada sila pertama yang disusun pada Piagam Jakarta, “kewajiban melaksanakan
syariat islam bagi para pemeluknya”. A. A. Maramis mengusulkan kepada Moh.
Hatta dengan sebelumnya meminta persetujuan keempat tokoh perwakilan Islam untuk
tujuh kata tersebut dihapuskan. Momentum inilah yang perlu diingat sebelum
sampai pada tanggal 18 Agustus 1945, Undang-undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai konstitusi dengan Piagam
Jakarta sebagai pembukaannya.
Generasi
millenial, dalam rilis republika.co.id (26/12/2016) yaitu orang-orang yang
lahir pada kisaran tahun 1980 sampai pada tahun 1990. Disebut juga sebagai
generasi Y, kelompok masyarakat yang pada tahun 2020 ini dalam rentang umur
pemuda. Mengapa kemudian generasi millenial ini menjadi sorotan serius dewasa ini? Hal
itu dikarenakan generasi millenial memilliki pola hidup dan perkembangan yang
jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.
Tahun
2020, generasi millenial ini dalam kisaran umur 30 sampai 40 tahun. Jika bertolak
dari laporan Nora Azizah dalam berkas republika diatas. Generasi millenial ini
merupakan generasi yang mengecap banyak perubahan dari generasi sebelumnya. Perubahan
dalam pola perilaku, gaya hidup serta lingkungannya.
Penulis
kemudian menyoroti satu poin penting dalam perkembangan generasi millenial tersebut.
Hal itu terdapat pada penggunaan metode saluran informasi. Generasi millenial ini
mengecap masa muda dalam kondisi perkembangan teknologi informasi di sektor
media berkembang cepat. Sosial media yang dipakai beragam dengan berbagai segmentasi
pemakaiannya. Twitter, facebook, instagram, youtube serta yang lainnya. Hal ini
menjadikan generasi millenial ini mengalami kelimpahan informasi. Sehingga tidak
terdapat objektifikasi informasi serta validitas dan aktualitas informasi
diragukan.
Pada
segmen yang lain, sosial media juga tidak terdapat pengawasan sehingga
tanggapan apapun serta opini apapun diunggah secara bebas. Dalam perkembangannya,
tidak jarang kemudian banyak keributan dan kejanggalan lainnya kita temukan pada
sosial media. Adu argumen tanpa adanya pembatasan seringkali menyebabkan
kegaduhan dan bahkan banyak yang kemudian menjadi keributan pada dunia nyata.
Masalah
lain yang juga sering diungkap dari permasalahan sosial media yakni pembahasan
mengenai isu SARA begitu renyah dikomentari tanpa menjaga toleransi dan
keberagaman dalam kehidupan. Miris apabila melihat bahwa generasi millenial seringkali
tidak siap menemui kenyataan bahwa tidak semua orang sama dengannya. Hal itu
disebabkan juga karena aktivitas dan komunikasi banyak dihabiskan melalui
smartphone atau yang lainnya sehingga kepekaan sosial kemasyarakatannya jadi
tidak terasah.
Apabila kondisi ini kemudian terus berlanjut,
maka permasalahan yang timbul merebak dan membesar. Pengguna smartphone tidak
diimbangi dengan pemakaian secara bijak. Hal yang menjadi penekanan ialah,
sebagai generasi muda sudah selayaknya generasi millenial sadar akan hal-hal
yang seharusnya dijaga- seperti halnya keberagaman demi merawat kebangsaan, Indonesia.
0 Komentar