Tertatih kata di Selat Sunda




Dalam perjumpaanku dengan gemuruh ombak yang menghantam tembok tepi pelabuhan, kulihat pundakan Krakatau menyembul di datar permukaan lautan. Semburat sinar jingga di celah-celah langit sore itupun kemudian menambah indahnya Krakatau terlihat. Deburan ombak lagi-lagi menjadi syair pengiring asri pemandangan yang kulihat. Sejenak kemudian kugenapkan tatapanku mengitari seluruh alam sekeliling tubuhku, helau mak bandingan (Lampung; dialek A: bagus tak berbanding) ucapku terlontar seketika. Pandanganku lalu sejurus waktu selurus tatapku terhenti pada elok bangunan kuning yang sangat akrab desainnya, Siger.
Menara yang sengaja dibangun dengan arsitektur bangunan menyerupai mahkota kaum hawa di bumi adat Lappung pada prosesi pernikahannya. Tegas meruncing kerucut lancip pada bagian atas bentuknya tak jemu kupandang keelokannya. Kiri dan kanan bangunan tersebut terlihat hijau perbukitan tampak dari kejauhan. Rasanya tak ingin kulepas tatapan ini barang sejenak, sebelum kemudian aku tersadar untuk harus bergegas menuju kapal yang akan membawaku ke Jawadwipa sana, menyeberangi Selat Sunda.
Terlepaslah kemudian jangkar penambat kapal yang kunaiki perlahan lalu bertindak mengarungi lautan. Aku yang sedari tadi tanpa suara dengan jurus muka ketus yang tak sengaja kupasang, diam menentang tali ransel yang kubawa.  Aku tahu pasti, pada tanah yang sejenak lalu kutinggalkan banyak sahabat yang melepas kepergianku dengan pesan via phone. Tak ada dering notifikasi memang, mode pesawat yang terpasang semoga dapat menghemat baterainya maksudku. Namun ditengah penyeberangan dan keberangkatanku, pada waktu dudukku mulai mendapatkan posisi nyamannya, ingin juga sejenak kuhidupkan data seluler handphone barang sejenak mengetahui jumlah notifikasi. Benar saja, nayah temen ijei wah geh ago mak beghadeu metei nge-chat nyak (Lampung ; dialek O: banyak sekali ini seperti tidak akan selesai kalian nge-chat saya) ucapku.
Beberapa model pesan kuterima, model dalam artian seperti humor, tulus, mendalam, asal chat dan banyak lagi jenisnya. Satu pesan yang kemudian menambat tatapanku dan mengunci jemariku untuk scroll ke pesan lainnya, tertulis dari sahabat yang memiliki rasa bangga dan kecintaan yang sama akan tanah kelahirannya.
Asingke wawai niao ulun, mak ngelebihke tenteram di taneh gham saian. Dang lupao di bumi Lappung, dijo dinei cawoke wawaino bumi Lappung. Lakunmeu jugo harus wawai bangik tian nerimo. Gham ulun Lappung, Lappung jadei identitas dang nawak carao ulun sai dapek nyadangke dirimeu saian”. (Lampung; dialek O: bagaimanapun indahnya negeri orang, tidak melebihi tenteram di tanah air kita sendiri. Jangan lupakan Lampung, engkau dimanapun katakan indahnya bumi Lampung. Perilakumu pun harus elok agar mereka dapat menerimamu. Kita orang Lampung, Lampung jadi identitas jangan mencontoh perilaku yang sekiranya dapat merusak dirimu sendiri).
 Sahabat yang pada hari-hari kemarin masih bersama bercanda mengirimi pesan tersebut dengan sangat mendalam, terbukti dari pemaknaan kalimat panjang pada pesannya tersebut. Iyeu yay (Lampung: iya yay) ucapku lirih memaknai pesannya.

0 Komentar